Sulawesi Selatan (Sulsel) mencatatkan diri sebagai provinsi dengan angka konflik agraria tertinggi di Indonesia. Sepanjang tahun 2024, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 37 kasus konflik tanah terjadi di wilayah ini. Tingginya angka ini mengindikasikan permasalahan agraria yang merajalela dan memerlukan perhatian serius dari pemerintah pusat maupun daerah. Konflik ini melibatkan berbagai pihak, dari masyarakat adat hingga perusahaan besar.
Berbagai faktor menjadi pemicu utama maraknya sengketa tanah di Sulsel. Tumpang tindih kepemilikan lahan, baik antara masyarakat dengan perusahaan maupun antar individu, menjadi penyebab klasik yang sulit terurai. Selain itu, ekspansi perkebunan dan pertambangan juga kerap memicu konflik dengan masyarakat lokal yang merasa hak atas tanahnya terabaikan.
Tak jarang, penerbitan sertifikat ganda dan penyerobotan lahan juga menambah kompleksitas permasalahan agraria di Sulsel, menciptakan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan menghambat investasi yang berkelanjutan.
Ombudsman Perwakilan Sulsel juga mencatat masalah agraria mendominasi laporan pengaduan masyarakat sepanjang tahun 2024. Hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa konflik tanah menjadi isu krusial yang berdampak luas pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Sulsel. Petani menjadi salah satu kelompok yang paling rentan dan seringkali menjadi korban dalam sengketa agraria ini, kehilangan mata pencaharian dan hak atas tanah yang mereka garap secara turun-temurun, bahkan tak jarang berujung pada kriminalisasi dan kekerasan.
Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum didesak untuk mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan konflik tanah yang terjadi di Sulsel. Mediasi yang melibatkan semua pihak terkait secara transparan dan adil, penegakan hukum yang tegas dan tidak memihak, serta penataan kembali administrasi pertanahan yang lebih baik dan akuntabel menjadi beberapa solusi yang mendesak untuk diimplementasikan.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi izin-izin perkebunan dan pertambangan yang berpotensi menimbulkan konflik agraria, serta memberikan akses keadilan bagi masyarakat yang dirugikan. Jika konflik agraria ini terus dibiarkan merajalela, bukan tidak mungkin akan menimbulkan dampak sosial yang lebih besar, memicu ketidakstabilan ekonomi, dan menghambat pembangunan yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan, serta merusak citra daerah di tingkat nasional.